Jumat, 31 Oktober 2008

MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH DENGAN SHOLAT BERJAMAAH

MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH DENGAN SHOLAT BERJAMAAH
Indeks > Artikel > Kolom Gus >

Membangun Keluarga Sakinah Dengan Jamaah
Sakinah, berasal dari bahasa Arab Sakana-Yaskunu Sakiinatan yang berarti tenang atau diam. Tafsir al Thobari mempersamakan sakinah dengan thuma’ninah atau Aminah yang berarti kedamaian. Dalam bahasa keseharian kita, sakinah lebih sering diartikan sebagai bahagia atau tentram. Keluarga bahagia dan tentram.
Merujuk kepada makna awal dari sakinah, maka keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh kedamaian, kebahagiaan dan ketentraman. Karena itu keluarga yang sakinah tidak hanya bisa dilandasi oleh saling suka dan cinta saja, lebih dari itu ke-sakinah-an sebuah keluarga membutuhkan usaha.
Bagaimanakah membangun keluarga yang sakinah?
Allah dalam surat al-Fath ayat 4 menyatakan,

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu'min.

Ayat ini menunjukkan kepada kita bahwa ketenangan dan ketentraman hati hanya mampu dimunculkan oleh Sang Pencipta. Itupun hanya diberikan kepada mereka yang beriman. Karena itu pulalah keluarga sakinah tidak akan mampu dibangun kecuali keluarga itu dibangun dengan landasan agama.

Landasan agama yang paling utama adalah perilaku shalat. Bukankah Allah dalam al Quran sudah menyatakan,

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan tercela?

Dalam kitab Tafsir Ibn Khatim kata al fach-sya’i diterjemahkan dengan kata zina. Bukankah kegiatan perselingkuhan juga bisa dikatakan perzinaan? Setidaknya kalau kita masih memahami bahwa kegiatan perselingkuhan dan ketidakjujuran pasangan kita sebagai perbuatan yang keji dan tercela, dorongan untuk berbuat korupsi, tidakkah kita pernah berpikir, "Jangan-jangan shalat saya masih bolong-bolong sehingga tidak mampu membendung keinginan berbuat tidak baik." Tidak sedikit mereka yang berbuat tidak baik berkata, “Saya tidak pernah meninggalkan shalat”. Benarkah? Kalaupun benar shalat yang bagaimana yang sudah kita jalankan? Shalat jasmani dan rohani atau sekedar jasmani saja, jengkulat jengkulit buyar!
Imam Ibn Abbas meriwayatkan sebuah hadist,
man la tanhahu shalatuhu ani al fach-sya’i wa al munkar, lam yazdad min Allah illa bu’dan.
Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan tercela dan mungkar maka orang itu tidak akan bertambah apapun dari sisi Allah kecuali bertambah jauh.

Sementara Imran Ibn Hasin meriwayatkan sabda Nabi:

Barangsiapa yang shalatnya tidak mencegahnya dari perbuatan tercela dan mungkar, maka sebenarnya tiada shalat baginya.

Imam Al Ghazali di dalam kitab Fath al Muin berpendapat bahwa shalat yang sah dan mampu mencegah perilaku yang tidak baik itu bila dilakukan dengan khusyuk, maka bagi al Imam, khusyu’ menjadi syarat sahnya shalat. Andai yang dibenarkan Allah terkait dengan hadits yang lain yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat wajahmu, jasadmu tetapi Allah melihat hatimu” adalah pendapat Imam Al Ghazali ini, adakah shalat kita yang sah? Berapa banyak shalat kita yang sah?

Sebagai pembuktian terbalik dari pendapat ini, kita mungkin sesekali dapat melakukan investigasi di pengadilan agama. Mereka yang bermasalah dalam keluarga rata-rata ahli shalat ataukah orang yang sering meninggalkan atau memiliki masalah dengan shalatnya?
Bagaimana dengan kita yang sholatnya masih didominasi hayalan dan kehidupan dunia. Shalat sambil bermimpi ini itu? Kita harus membiasakan shalat berjamaah! Dalam sebuah komunitas berjamaah, kebutuhan harus khusyu’ bagi masing-masing orang yang shalat itu dapat ditutupi oleh salah satu makmum yang bisa khusyu’, bila semua makmum tidak ada yang khusyu’ maka kebutuhan khusyu’ semua jamaah itu dicukupi oleh Imamnya. Karena itu pulalah shalat berjamaah memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk dikatagorikan sah dibanding shalat sendiri. Kalau shalat kita sah, Insya Allah shalat itu akan menjauhkan kita dari perbuatan yang tidak terpuji. Bukankah Allah tidak akan mengingkari janji?

Terkait dengan hal ini pula, Nabi pernah menyatakan:

"Barangsiapa yang selalu menjaga shalatnya dengan berjamaah tidak akan terkena kefaqiran selamanya."

Arti fakir terdikotomi ke dalam fakir hati dan fakir harta. Untuk fakir harta, mungkin kita semua sudah memahaminya. Sementara mereka yang fakir hati adalah orang-orang yang selalu diliputi perasaan tidak puas atas apa yang ada dalam dirinya dan tidak mampu bersyukur. Sudah kaya atau minimal melebihi perekonomian tetangga sekitarnya, tetap saja memiliki hasrat mencuri, mark up atau korupsi. Sudah memiliki istri yang cantik, bodi bagus, tetap saja matanya jilalatan ketika melihat wanita lain. Bahkan tidak sedikit kita temui seorang lelaki dengan selingkuhan yang wajahnya tidak menjanjikan dan lebih jelek dari isterinya sendiri.

Merasa tidak puas dengan rizki yang diterima, mencari kerja ke luar negeri, tanpa memahami bahwa harta banyak bukanlah solusi. Bahkan kerusakan yang ditimbulkan tidak sebanding dengan harta yang diterima. Ancaman hukuman mati, pelecehan seksual dan kekerasan selalu menghantui pekerja Indonesia yang bekerja diluar negeri. Belum lagi pasangannya yang di Indonesia dengan alasan kesepian selingkuh dan menghabiskan harta kiriman pasangannya.
Dengan selalu menjalankan shalat secara berjamaah, minimal dengan pasangan nikahnya sendiri, Allah melalui lisan Rasulullah memberikan jaminan terbebas dari kefakiran baik kefakiran harta maupun hati. Orang bepergian ke luar negeri, pasti atas promosi atau cerita orang lain tentang rezeki yang berlimpah. Kita percaya dan kita berangkat ke sana mengais rizki. Seorang PNS pasti percaya akan jaminan pemerintah bahwa setiap awal bulan akan mendapat rizki berupa gaji bulanan. Orang yang berpromosi kerja di luar negeri, aparat pemerintah yang menciptakan ketentuan gaji bulanan, mereka semua adalah manusia, makhluk, ciptaan Allah. Kepada sesama ciptaan kita percaya, tetapi mengapa tidak percaya kepada yang mencipta?

Kalau kita selama ini tidak pernah mampu melalui cobaan-cobaan dunia baik berupa kefakiran hati maupun harta, mengapa kita meninggalkan jamaah shalat? Mengapa masa depan kita tidak kita usahakan dan pastikan dengan selalu berjamaah? Melihat jaminan Allah yang begitu hebat bagi kehidupan dunia dan akhirat, para kyai sepuh bahkan dalam menganjurkan berjamaah sampai berkata, “Kalau perlu membayar orang untuk membantu shalat kita agar terhitung jamaah!”. Berapapun harta yang kita keluarkan tidak akan sebanding dengan jaminan Allah yang begitu besar dan bernilai.
Dengan berjamaah, kita tidak saja mendapatkan jaminan kehidupan dari Pencipta, kitapun mampu membangun hubungan ruh dengan pasangan, sehingga pernikahan kita tidak terbatas oleh jasad saja tetapi juga diwarnai oleh kecintaan ruhani. Mencintai pasangan karena Allah akan menumbuhkan ketenangan dan ketentraman hati.

Dalam setiap khutbah nikah seringkali kita menemui sebuah maqalah yang menyatakan
"Dua orang berlawanan jenis tidak akan mampu bertemu atau berpisah kecuali dengan ketentuan dan takdir Allah.

Dengan shalat berjamaah kita melakukan pendekatan diri kepada Allah. Dengan berbekal kedekatan kita kepada Allah, segala kebutuhan kita Insya Allah akan dicukupinya. Termasuk pula permohonan agar ketentuan dan takdir Allah menetapkan bahwa kita dan pasangan dilanggengkan dalam sebuah keluarga yang penuh kedamaian dan ketentraman. keluarga yang sakinah. Wallahu A’lam.
Penulis: Achmad Shampton Masduqi, SHI